Sabtu, 06 Maret 2021

Hari ke 4 tantangan 15 hari Pendidikan Seksualitas
Hasil notulensi kerja kelompok mengenai pengenalan gender berdasarkan usia. 

Harry Santosa mengurutkan pengenalan gender berdasarkan usia, sebagai berikut:

  1. Pra Latih
  2. Usia 0-2 Tahun

Anak lelaki maupun anak perempuan seyogyanya lebih didekatkan kepada Ibu karena masih dalam masa menyusui. “Menyusui adalah tahap awal penguatan semua konsepsi fitrah termasuk fitrah keimanan dan fitrah seksualitas.” Artinya ketika menyusui ibu memberikan perhatian secara penuh kepada anaknya. Anak pun mengetahui perbedaan ayah dan ibunya dari aktivitas menyusui.

  1. Usia 3 – 6 Tahun

Di usia ini merupakan tahap Penguatan Konsepsi Gender dengan imaji positif tentang gendernya masing-masing. Indikator tumbuhnya fitrah seksualitas di tahap ini adalah anak dengan jelas dan bangga menyebut gendernya di usia 3 tahun. Anak harus dekat dengan kedua orangtuanya. Sosok ayah dan ibu harus hadir agar anak memiliki keseimbangan emosional dan rasional. Kedekatan kedua orangtua akan membuat anak secara imaji mampu membedakan sosok laki-laki dan perempuan. Dan pada akhirnya anak akan bisa menempatkan dirinya sesuai seksualitasnya. Mereka dengan mantap mengatakan  ” saya perempuan ” atau ” saya laki-laki “.

  1. Pra Aqil Baligh I

Pada usia 7 – 10 tahun ialah fase penyadaran Potensi Gender dengan beragam aktivitas yang relevan dengan gendernya. Anak lelaki yang telah ajeg konsep kelelakiannya pada usia 0-6 tahun, maka kini disadarkan potensi kelelakiannya langsung dari Ayah. Anak lelaki lebih didekatkan ke Ayah. Karena usia ini egosentris anak bergeser ke sosiosentris. Ayah membimbing anak lelakinya untuk memahami peran sosialnya. Caranya bisa mengajak anak untuk mengikuti shalat berjama’ah di masjid. Melakukan kegiatan pertukangan bersama atau menghabiskan waktu di bengkel. Selain itu, ayah juga menjelaskan tentang fungsi reproduksi yang dimilikinya. Misalnya konsekuensi sperma bagi seorang laki-laki.

Begitupula sebaliknya, di usia ini anak perempuan lebih didekatkan pada ibunya. Ibu membangkitkan peran keperempuanan dan keibuaan anak. Misalnya memberi pengetahuan akan pentingnya ASI (Air Susu Ibu). Agar kelak anak perempuan akan melaksanakan tugas menysuinya dengan baik. Mengajarkan tentang pentingnya pendidikan bagi seorang ibu. Seorang ibu haruslah terdidik, sebab ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Melibatkan anak dalam mempersiapkan hidangan yang begizi bagi keluarga. Dan ibu menjadi tempat pertama yang menjelaskan tentang konsekuensi adanya rahim bagi perempuan.

 

  1. Pra Aqil Baligh II

Pada usia 11 – 14 tahun ini adalah tahap Pengujian Eksistensi melalui ujian dalam kehidupan nyata. Anak lelaki yang telah sadar potensi kelelakiannya kini harus diuji dengan memahami mendalami lawan jenisnya langsung dari ibunya. Tujuannya, agar dia mampu memahami cara pandang perampuan (ibunya). Sehingga kelak dia akan tumbuh sebagai laki-laki yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang. Anak perempuan pada usia ini harus lebih dekat dengan ayahnya. Ayah menjadi cinta pertamanya, menjadi sosok ideal dimatanya. menjadi tempat mencurahkan segala keluh kesah. Kedekatan ini membuat anak perempuan bisa memahami bagaimana laki-laki harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan sesuai persepsi laki-laki atau memahami cara pandang laki-laki (ayahnya). Pada usia ini adalah puncak perkembangan fitrah seksualitas. Anak laki-laki akan mengalami mimpi basah, sedangkan anak perempuan akan mengalami menstruasi. Mereka juga mulai memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Langkah pertama yang harus dilakukan orangtua dalam membangkitkan fitrah seksualitas pada usia ini adalah memberikan mereka kamar terpisah. Indikator pada tahapan ini adalah persiapan dan keinginan menjadi ayah bagi anak laki-laki dan menjadi ibu bagi anak perempuan.

  1. Post Aqil Baligh

Usia >15 tahun ialah tahap penyempurnaan fitrah seksualitas sehingga menjadi peran keayah bundaan. Pada masa merupakan masa Aqil Baligh atau anak bukan lagi anak-anak, tetapi mitra bagi orangtuanya. Secara syariah anak telah Mukalaf atau mampu memikul beban syariah, termasuk kemampuan untuk menikah atau menjadi ayah sejati atau menjadi ibu sejati.